Sabtu, 19 September 2015
Hiban, Hiban Rinarwan, begitulah orang memanggilu lama mencari handphone-nya? Ayolah Ranggaku. Aku tak berharap pergi ke manapun atau bersama siapapun malam minggu ini, hanya ingin merebahkan tubuh di atas sofa. Serasa nyaman meski tak ada satupun yang bisa kukerjakan. Menatap internit kamar bagiku sudah seperti menonton sinema di bioskop, Aku bisa menggambarkan jutaan visi dalam imajinasiku hanya lewat papan putih polos yang menggantung di rumahku. Aku tak butuh kejutan, tapi esok umurku akan genap 20 tahun.
Hiban, Hiban Rinarwan, begitulah orang memanggilu lama mencari handphone-nya? Ayolah Ranggaku. Aku tak berharap pergi ke manapun atau bersama siapapun malam minggu ini, hanya ingin merebahkan tubuh di atas sofa. Serasa nyaman meski tak ada satupun yang bisa kukerjakan. Menatap internit kamar bagiku sudah seperti menonton sinema di bioskop, Aku bisa menggambarkan jutaan visi dalam imajinasiku hanya lewat papan putih polos yang menggantung di rumahku. Aku tak butuh kejutan, tapi esok umurku akan genap 20 tahun.
Ahad, 20 September 2015
Sinar mentari mengintip lewat tirai rumah yang anggun dikibas oleh tiupan angin jendela. Astaga! Aku baru ingat, hari ini aku ada janji dengan dua orang temanku, teman dekatku. Mereka berniat membawaku ke Telaga Rindang, telaga indah nan erotis, namun minim pengunjung. Tak apalah, mungkin ada kejutan yang mereka simpan untuk ultahku di akhir masa genital ini, atau mungkin mereka tak menyadarinya sama sekali? Entahlah, ulang tahun tak begitu penting bagiku.
Tiit… Tiit.. Tiit…
Handphone-ku bergetar. Sebuah pesan masuk. Aku yakin itu pasti mereka, mungkin mereka akan sampai dalam hitungan menit ke depan rumahku. Aku membaca pesan tersebut:
Sinar mentari mengintip lewat tirai rumah yang anggun dikibas oleh tiupan angin jendela. Astaga! Aku baru ingat, hari ini aku ada janji dengan dua orang temanku, teman dekatku. Mereka berniat membawaku ke Telaga Rindang, telaga indah nan erotis, namun minim pengunjung. Tak apalah, mungkin ada kejutan yang mereka simpan untuk ultahku di akhir masa genital ini, atau mungkin mereka tak menyadarinya sama sekali? Entahlah, ulang tahun tak begitu penting bagiku.
Tiit… Tiit.. Tiit…
Handphone-ku bergetar. Sebuah pesan masuk. Aku yakin itu pasti mereka, mungkin mereka akan sampai dalam hitungan menit ke depan rumahku. Aku membaca pesan tersebut:
Dari: Mizan Ramdani
Subjek: Kita sudah di depan rumah, Ban. Ayo, tunggu apa lagi? Semakin cepat pergi semakin baik bukan?
Subjek: Kita sudah di depan rumah, Ban. Ayo, tunggu apa lagi? Semakin cepat pergi semakin baik bukan?
Ouch. Aku keliru. Mereka sudah siap menunggu di depan.
Mizan. Dia adalah temanku yang begitu polos dan setia. Berpostur gemuk tapi tak nakal atau terlalu pendiam, antusias dalam beragam aktivitas, apalagi kalau berhubungan dengan hobinya: Air.
Aku tak berpikir harus mandi, karena toh setelah ini akan basah juga. Keluar rumah dengan jaket Real Madrid kesayanganku, aku disambut oleh Mizan dan temanku yang lain, namanya Rangga. Rangga adalah penakut, sedikit bawel, namun tetap pada poros kesetiaan. Itulah mungkin yang membuat persahabatan kita begitu rekat: Setia, Loyal, dan Peduli.
“Bagaimana malam minggumu, Ban?” sapa Mizan.
“Biasa saja. Malam ini begitu tak biasa, tanpa kalian serasa menenangkan saja, tak masalah.” Tukasku cuek.
“Alah, paling kamu berkhayal tentang imajimu yang nggak-nggak kan?” Rangga menyahut.
“Bisa jadi, Ga. Tapi itu tak begitu penting. Yang penting tujuan kita setelah ini.” Aku sedikit menuntut dengan senyum, meski tak 100% tulus.
Kita bertiga menaiki mobil dengan percakapan ringan. Aku merasa cuaca yang begitu rancu pagi ini. Tak biasanya September pagi secerah ini, padahal Aku merasa dingin semalam. Mungkin hujan, mungkin juga hanya sisa delusiku saja yang bergelayut pada mimpi yang tak kulihat apapun di dalamnya, kecuali hitam.
Sampai di parkiran telaga, pikirku kembali merana. Tak ada satupun yang datang hari ini.Tukang parkir bahkan tak ada. Aku hanya meyakinkan kedua temanku bahwa mungkin saja kita datang terlalu pagi. Ya, terlalu pagi untuk ukuran mereka, padahal sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10.
Rangga, sebagai supir lebih memilih parkir di pinggir jalan depan rumah makan Ayu Ningrat, langganan para pengunjung. Ia memarkirkan mobil secara vertikal dengan beberapa senti ban mobil sebelah kanan menyentuh trotoar.
“Ayo Zan, Ga, bawa barang bawaan kita dan jangan lupa, Rangga, rem tangannya, jalan ke bawah lumayan terjal lho.” Aku mengingatkan.
“Pasti, Hiban yang baik.” Rangga menjawab, agak berlebihan.
“Hiban, kamu kayaknya lupa sesuatu deh, hape-mu ketinggalan ya? Tadi ibumu coba manggil tapi ga ada jawaban, ni ibu kamu baru aja sms.” Tukas Mizan memberitahuku.
“Oh iya! Ya ampun, khilaf nih.. Mana pesannya? Bisa lihat?”
“Nih!” Mizan menyerahkan handphone-nya dengan menu pesan terbuka.
Mizan. Dia adalah temanku yang begitu polos dan setia. Berpostur gemuk tapi tak nakal atau terlalu pendiam, antusias dalam beragam aktivitas, apalagi kalau berhubungan dengan hobinya: Air.
Aku tak berpikir harus mandi, karena toh setelah ini akan basah juga. Keluar rumah dengan jaket Real Madrid kesayanganku, aku disambut oleh Mizan dan temanku yang lain, namanya Rangga. Rangga adalah penakut, sedikit bawel, namun tetap pada poros kesetiaan. Itulah mungkin yang membuat persahabatan kita begitu rekat: Setia, Loyal, dan Peduli.
“Bagaimana malam minggumu, Ban?” sapa Mizan.
“Biasa saja. Malam ini begitu tak biasa, tanpa kalian serasa menenangkan saja, tak masalah.” Tukasku cuek.
“Alah, paling kamu berkhayal tentang imajimu yang nggak-nggak kan?” Rangga menyahut.
“Bisa jadi, Ga. Tapi itu tak begitu penting. Yang penting tujuan kita setelah ini.” Aku sedikit menuntut dengan senyum, meski tak 100% tulus.
Kita bertiga menaiki mobil dengan percakapan ringan. Aku merasa cuaca yang begitu rancu pagi ini. Tak biasanya September pagi secerah ini, padahal Aku merasa dingin semalam. Mungkin hujan, mungkin juga hanya sisa delusiku saja yang bergelayut pada mimpi yang tak kulihat apapun di dalamnya, kecuali hitam.
Sampai di parkiran telaga, pikirku kembali merana. Tak ada satupun yang datang hari ini.Tukang parkir bahkan tak ada. Aku hanya meyakinkan kedua temanku bahwa mungkin saja kita datang terlalu pagi. Ya, terlalu pagi untuk ukuran mereka, padahal sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10.
Rangga, sebagai supir lebih memilih parkir di pinggir jalan depan rumah makan Ayu Ningrat, langganan para pengunjung. Ia memarkirkan mobil secara vertikal dengan beberapa senti ban mobil sebelah kanan menyentuh trotoar.
“Ayo Zan, Ga, bawa barang bawaan kita dan jangan lupa, Rangga, rem tangannya, jalan ke bawah lumayan terjal lho.” Aku mengingatkan.
“Pasti, Hiban yang baik.” Rangga menjawab, agak berlebihan.
“Hiban, kamu kayaknya lupa sesuatu deh, hape-mu ketinggalan ya? Tadi ibumu coba manggil tapi ga ada jawaban, ni ibu kamu baru aja sms.” Tukas Mizan memberitahuku.
“Oh iya! Ya ampun, khilaf nih.. Mana pesannya? Bisa lihat?”
“Nih!” Mizan menyerahkan handphone-nya dengan menu pesan terbuka.
Dari: Ibu Hiban
Subjek: Mizan, bilang ke Hiban supaya hati-hati.
Subjek: Mizan, bilang ke Hiban supaya hati-hati.
“Tolong iyakan balasannya ya, Zan. Aku mau menurunkan barang sebentar.”
“Sip!” Mizan segera mengetik 'iya', menekan 'send', dan selesai. Pesan terkirim. Baguslah.
Kita harus berjalan dari tempat memarkirkan mobil sekitar 50 meter menuju telaga. Telaga Rindang. Begitulah gerbang itu menyapa. Sepi. Itulah yang kali ini kutemukan, menjadikanku agak sedikit malas menyentuh air, apalagi untuk renang.
Kami duduk di suatu gubuk yang tersedia di pinggiran telaga, menaruh barang dan hampir saja terjadi obrolan hingga ketika Mizan, si hobi air, mengatakan tak sabar untuk berenang. “Ini dia rumahku.” Begitulah katanya. Aku dan Rangga hanya saling menatap dan saling melempar senyum, heran dengan rasa passion-nya yang begitu membara ketika menatap elemen yang satu ini.
“Kamu duluan aja, Zan. Aku nanti nyusul” Aku mempersilahkan Mizan berlari ke tempat mobil diparkir. Tapi.. Tidak ada! Tidak ada mobil di depan rumah makan Ayu Ningrat! Kemana?
Mataku menyapu sekitar, dan saat berputar 180 derajat, aku kembali terbelalak. Mobil Rangga berpindah tempat. Mobil tak mungkin bergerak sendiri setelah Rangga memasang rem tangan. Lebih tak mungkin lagi karena keadaan mobil yang terpojok pada lebat pohon yang setengah tumbang karena tertabrak bagian belakang mobil Rangga. Mobil yang kusut tak berbentuk! Apa yang terjadi?
Aku semakin tak percaya saat melihat sebuah bangkai truk besar berada beberapa meter di belakang mobil Rangga dalam keadaan terbalik. Ini kecelakaan! Lantas di mana Rangga? Apa dia masih di dalam mobil itu? Apa ia terlal!
Memberanikan diri mendekati mobil, dalam benak aku berkata, bertanya, apakah ini hadiah ulang tahun yang pantas buatku? Apakah aku harus kehilangan dua orang sahabatku pada waktu yang sama, pada waktu yang begitu spesial buatku?
Aku menangis dan kembali bertekuk lutut di depan mobil Rangga. Larut…. Terlalu larut dalam sedih, hingga tak sadar di belakangku telah terseret sebuah mobil Land Rover dengan sopir mabuk, siap menyambar, kembali akan menimbulkan tabrakan.
Aku berbalik mendengar dencitan rem yang begitu nyaring, dan apa yang kulihat adalah bemper mobil berada 10 cm di depan mataku, terus bergerak maju dengan kecepatan tinggi. Aku teriak sekeras mungkin… begitu keras... hingga mungkin langit mendengar.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……!!”
“Hiban! Hiban!!”
Itu suara ibu. Ya, aku kenal betul. Itu Ibu!
“Hiban.. ayo bangun, sudah siang, sarapan sudah ibu siapkan”
Dalam remang mimpi, aku masih bingung. Apakah ini mimpi? Aku segera terduduk dan mengelus dada, dengan nafas tersengal aku berkata “Untunglah ini bukan nyata.”
Hari ini Ahad, tak perlu buru-buru. Aku tak lupa, tak pernah lupa tanggal kelahiranku, 20 September, tepatnya hari ini. Lagipula aku tak ada janji dengan siapapun. Mizan dan Rangga? Mereka pasti di rumah masing-masing, sibuk dengan akhir pekan masing-masing.
Aku berjalan sedikit terhuyung akibat mimpi tadi, melangkah menuju meja makan. Saat duduk, aku melihat koran terbuka. Tak seperti biasanya ibu membeli koran, apalagi langganan. Aku mengambil koran tersebut sambil setengah berteriak, bertanya pada ibu “Bu, sejak kapan kita langganan koran?”
Tak ada jawaban. Ah, mungkin ibu lagi di luar. Mata sayuku mencoba menyusuri halaman perhalaman, hingga pada satu topik yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari degupan normal, yang membuat aliran darahku seakan berhenti tuk beberapa detik. Tangan yang mencengkeram koran tak sanggup memegangnya lagi. Berita macam apa ini?
“Sip!” Mizan segera mengetik 'iya', menekan 'send', dan selesai. Pesan terkirim. Baguslah.
Kita harus berjalan dari tempat memarkirkan mobil sekitar 50 meter menuju telaga. Telaga Rindang. Begitulah gerbang itu menyapa. Sepi. Itulah yang kali ini kutemukan, menjadikanku agak sedikit malas menyentuh air, apalagi untuk renang.
Kami duduk di suatu gubuk yang tersedia di pinggiran telaga, menaruh barang dan hampir saja terjadi obrolan hingga ketika Mizan, si hobi air, mengatakan tak sabar untuk berenang. “Ini dia rumahku.” Begitulah katanya. Aku dan Rangga hanya saling menatap dan saling melempar senyum, heran dengan rasa passion-nya yang begitu membara ketika menatap elemen yang satu ini.
“Kamu duluan aja, Zan. Aku nanti nyusul” Aku mempersilahkan Mizan berlari ke tempat mobil diparkir. Tapi.. Tidak ada! Tidak ada mobil di depan rumah makan Ayu Ningrat! Kemana?
Mataku menyapu sekitar, dan saat berputar 180 derajat, aku kembali terbelalak. Mobil Rangga berpindah tempat. Mobil tak mungkin bergerak sendiri setelah Rangga memasang rem tangan. Lebih tak mungkin lagi karena keadaan mobil yang terpojok pada lebat pohon yang setengah tumbang karena tertabrak bagian belakang mobil Rangga. Mobil yang kusut tak berbentuk! Apa yang terjadi?
Aku semakin tak percaya saat melihat sebuah bangkai truk besar berada beberapa meter di belakang mobil Rangga dalam keadaan terbalik. Ini kecelakaan! Lantas di mana Rangga? Apa dia masih di dalam mobil itu? Apa ia terlal!
Memberanikan diri mendekati mobil, dalam benak aku berkata, bertanya, apakah ini hadiah ulang tahun yang pantas buatku? Apakah aku harus kehilangan dua orang sahabatku pada waktu yang sama, pada waktu yang begitu spesial buatku?
Aku menangis dan kembali bertekuk lutut di depan mobil Rangga. Larut…. Terlalu larut dalam sedih, hingga tak sadar di belakangku telah terseret sebuah mobil Land Rover dengan sopir mabuk, siap menyambar, kembali akan menimbulkan tabrakan.
Aku berbalik mendengar dencitan rem yang begitu nyaring, dan apa yang kulihat adalah bemper mobil berada 10 cm di depan mataku, terus bergerak maju dengan kecepatan tinggi. Aku teriak sekeras mungkin… begitu keras... hingga mungkin langit mendengar.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……!!”
“Hiban! Hiban!!”
Itu suara ibu. Ya, aku kenal betul. Itu Ibu!
“Hiban.. ayo bangun, sudah siang, sarapan sudah ibu siapkan”
Dalam remang mimpi, aku masih bingung. Apakah ini mimpi? Aku segera terduduk dan mengelus dada, dengan nafas tersengal aku berkata “Untunglah ini bukan nyata.”
Hari ini Ahad, tak perlu buru-buru. Aku tak lupa, tak pernah lupa tanggal kelahiranku, 20 September, tepatnya hari ini. Lagipula aku tak ada janji dengan siapapun. Mizan dan Rangga? Mereka pasti di rumah masing-masing, sibuk dengan akhir pekan masing-masing.
Aku berjalan sedikit terhuyung akibat mimpi tadi, melangkah menuju meja makan. Saat duduk, aku melihat koran terbuka. Tak seperti biasanya ibu membeli koran, apalagi langganan. Aku mengambil koran tersebut sambil setengah berteriak, bertanya pada ibu “Bu, sejak kapan kita langganan koran?”
Tak ada jawaban. Ah, mungkin ibu lagi di luar. Mata sayuku mencoba menyusuri halaman perhalaman, hingga pada satu topik yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari degupan normal, yang membuat aliran darahku seakan berhenti tuk beberapa detik. Tangan yang mencengkeram koran tak sanggup memegangnya lagi. Berita macam apa ini?
3 Pemuda Meregang Nyawa di Telaga Rindang
….. sesuai konfirmasi dari polisi, mereka adalah MR (21), yang tewas karena sengatan listrik, sedangkan RF (20) menjadi korban tabrakan mobil, dan yang terakhir adalah HR (20)….
Aku tak sanggup melanjutkan bacaan. Tubuhku bergetar, aku ketakutan, sangat ketakutan. Aku tak tahu tulisan macam apa ini. Apakah mungkin ini koran lama? Aku melihat tanggalnya.
Aku tak sanggup melanjutkan bacaan. Tubuhku bergetar, aku ketakutan, sangat ketakutan. Aku tak tahu tulisan macam apa ini. Apakah mungkin ini koran lama? Aku melihat tanggalnya.
Senin, 21 September 2015
Senin? Bukankah itu besok hari? Koran besok terbit hari ini? Tidak mungkin! Bulu kudukku seketika naik begitu tinggi. Dalam pagi mencekam, pandanganku mencoba menyusuri rumah, mencari di manakah ibu, ingin bertanya tentang kenyataan. Aku yakin, ini masih bagian dari mimpi. Tapi bagaimana mungkin? Aku sudah bangun, baru saja, terbangun dari mimpi yang begitu buruk! Ibu, dimana engkau?
Tiit… Tiit.. Tiit…
Dalam hening handphone-ku berbunyi. Aku sedikit kaget, karena tak biasanya pagi seperti ini ada telpon atau SMS masuk. Masih dalam ketakutan yang sama, Aku genggam handphone-ku. Ah, hanya SMS, aku membukanya, dan membaca:
Tiit… Tiit.. Tiit…
Dalam hening handphone-ku berbunyi. Aku sedikit kaget, karena tak biasanya pagi seperti ini ada telpon atau SMS masuk. Masih dalam ketakutan yang sama, Aku genggam handphone-ku. Ah, hanya SMS, aku membukanya, dan membaca:
Dari: Mizan Ramdani
Subjek: Kita sudah di depan rumah, Ban. Ayo, tunggu apa lagi? Semakin cepat pergi semakin baik bukan?
Subjek: Kita sudah di depan rumah, Ban. Ayo, tunggu apa lagi? Semakin cepat pergi semakin baik bukan?
Deg deg!
Apa yang sebenarnya terjadi? Lelucon ini sungguh tak lucu! Atau memang sudah saatnya? (1000Quotes)
Apa yang sebenarnya terjadi? Lelucon ini sungguh tak lucu! Atau memang sudah saatnya? (1000Quotes)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar