Kemajuan suatu bangsa terletak pada tsaqofah dan madaniyah. Tsaqofah adalah gerakan yang tidak tampak tapi memiliki pengaruh yang sangat dahsyat, contohnya membina, mendidik, menegakkan disiplin, memotivasi dan sebagainya.
Madaniyah adalah gerakan yang tampak juga mempunyai pengaruh yang tidak sedikit bagi kehidupan, contohnya adalah pembangunan jalan, masjid, balai pertemuan, alat transportasi dan sebagainya. Dua gerakan tersebut, jika integrit akan menjadi kekuatan yang hebat, yang dinamakan dengan hadhoroh.
Mengingat pentingnya gerakan tersebut, maka segala potensi dan upaya untuk meningkatkan kualitas diperlukan. Wadah yang tepat untuk itu adalah institusi pendidikan.
Institusi manapun dan apapun baik formal, informal dan non formal, tradisional dan modern, pasti memiliki standar operasional dan sistem dalam melaksanakan gerakan-gerakan tsaqofah. Pendidikan nasional memiliki sistem pendidikan sendiri, baik manajemen, pembinaan bahkan sistem ukur hasil proses belajar akhir melalui UAN. Lembaga pendidikan tradisional, seperti pondok salafiyah juga memiliki sistem, manajemen, pembinaan dan pengajaran sendiri.
Lembaga pendidikan pesantren salafiyah secara manajemen dikelola oleh kyainya. Sementara pembinaan terhadap santri hanya difokuskan pada pembinaan aqidah tauhid. Tidak tampak banyak pembangunan karakter (character building). Adapun pengajarannya, hanya difokuskan pada penguasan terhadap buku turost atau kitab kuning yang mengunakan sistem sorogan sebagai sistem tranformasinya.
Adapun lembaga pendidikan pesantren modern seperti Gontor juga memiliki sistem yang spesifik dalam melaksanakan gerakan-gerakan tsaqofah tarbawiyah. Sistem pendidikan Gontor diciptakan untuk kehidupan maka sistem pendidikan Gontor itu sifatnya holistis dan komprehensif (jaami' syamil). Bukan hanya untuk kepentingan akademis saja, tetapi juga untuk pembentukan karakter, bahkan sampai menyentuh kepentingan kelangsungan hidup santri di pondok dan di masyarakat kelak.
Ada beberapa sistem kunci yang diterapkan Gontor dalam menggerakkan dan menata totalitas kehidupan. Sistem-sistem tersebut adalah:
1. Sistem pengajaran
2. Sistem kepemimpinan
3. Sistem pendanaan
4. Sistem kaderisasi
5. Sistem kesejahteraan
6. Sistem kepengasuhan
Sistem-sistem tersebut di atas senantiasa dipertahankan oleh Gontor secara konsisten dan tidak berubah-ubah meskipun mengalami perubahan pelaksananya dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, Gontor menganut teguh prinsip “al-muhafadzoh 'alal qodimis sholih wal ahdzu bil jadiidil aslah”.
Berbeda dengan Gontor, sistem pendidikan dan pengajaran di luar Gontor selalu mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan selera decision maker atau pemimpinnya. Sebagai contohnya, ketika menteri pendidikan atau dirjen pendidikan berganti baru, maka sistem pendidikannya ikut berubah pula. Padahal sistem lama belum sempurna penerapannya dan aplikasinya bahkan hasilnya pun belum ada.
Di pesantren selain Gontor perubahan-perubahan sistem diatas juga kerap terjadi ketika kyai atau pimpinannya meninggal dunia dan digantikan orang lain.
Selain itu, ada lagi perbedaan lain yang signifikan. Sistem-sistem Gontor tersebut lahir dari pengalaman dan penciptaan dinamika kehidupan secara totalitas; bukan dari teori ahli pendidikan. Sebaliknya, sistem-sistem di luar Gontor bersumber (referensinya) dari teori-teori yang diciptakan ahli-ahli pendidikan yang belum tentu sesuai dengan kemampuan dan kondisi lembaga pendidikan tersebut.
Kalau diamati dan dianalisa secara mendalam, dengan adanya sistem-sistem pendidikan yang variatif dan berbeda dalam institusi-institusi pendidikan dapat disimpulkan bahwa sebenarnya telah terjadi perang sistem pendidikan “antara pendidikan umum atau nasional dengan pendidikan pesantren”. Hanya peperangan tersebut tidak terlihat secara fisik.
Pemenang “perang sistem pendidikan” tersebut dapat diklaim oleh Gontor, karena konsistensinya, pendidikan Gontor dari waktu ke waktu dianggap baik serta diterima oleh masyarakat. Buktinya kepercayaan masyarakat terhadap Gontor semakin besar dengan indikasi santrinya bertambah terus, sehingga Gontor mengembangkan kemampuannya sampai 20 cabang.
Sistem-sistem itu dapat dikatakan baik atau buruk, kuat atau lemah, apabila melalui proses-proses berikut ini:
1. Sistem diuji kelayakannya dengan cara dibandingkan dengan sistem lain
2. Memiliki ketahanan atau tidak
3. Memiliki hasil
4. Alumninya mampu bersaing di masyarakat
Madaniyah adalah gerakan yang tampak juga mempunyai pengaruh yang tidak sedikit bagi kehidupan, contohnya adalah pembangunan jalan, masjid, balai pertemuan, alat transportasi dan sebagainya. Dua gerakan tersebut, jika integrit akan menjadi kekuatan yang hebat, yang dinamakan dengan hadhoroh.
Mengingat pentingnya gerakan tersebut, maka segala potensi dan upaya untuk meningkatkan kualitas diperlukan. Wadah yang tepat untuk itu adalah institusi pendidikan.
Institusi manapun dan apapun baik formal, informal dan non formal, tradisional dan modern, pasti memiliki standar operasional dan sistem dalam melaksanakan gerakan-gerakan tsaqofah. Pendidikan nasional memiliki sistem pendidikan sendiri, baik manajemen, pembinaan bahkan sistem ukur hasil proses belajar akhir melalui UAN. Lembaga pendidikan tradisional, seperti pondok salafiyah juga memiliki sistem, manajemen, pembinaan dan pengajaran sendiri.
Lembaga pendidikan pesantren salafiyah secara manajemen dikelola oleh kyainya. Sementara pembinaan terhadap santri hanya difokuskan pada pembinaan aqidah tauhid. Tidak tampak banyak pembangunan karakter (character building). Adapun pengajarannya, hanya difokuskan pada penguasan terhadap buku turost atau kitab kuning yang mengunakan sistem sorogan sebagai sistem tranformasinya.
Adapun lembaga pendidikan pesantren modern seperti Gontor juga memiliki sistem yang spesifik dalam melaksanakan gerakan-gerakan tsaqofah tarbawiyah. Sistem pendidikan Gontor diciptakan untuk kehidupan maka sistem pendidikan Gontor itu sifatnya holistis dan komprehensif (jaami' syamil). Bukan hanya untuk kepentingan akademis saja, tetapi juga untuk pembentukan karakter, bahkan sampai menyentuh kepentingan kelangsungan hidup santri di pondok dan di masyarakat kelak.
Ada beberapa sistem kunci yang diterapkan Gontor dalam menggerakkan dan menata totalitas kehidupan. Sistem-sistem tersebut adalah:
1. Sistem pengajaran
2. Sistem kepemimpinan
3. Sistem pendanaan
4. Sistem kaderisasi
5. Sistem kesejahteraan
6. Sistem kepengasuhan
Sistem-sistem tersebut di atas senantiasa dipertahankan oleh Gontor secara konsisten dan tidak berubah-ubah meskipun mengalami perubahan pelaksananya dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, Gontor menganut teguh prinsip “al-muhafadzoh 'alal qodimis sholih wal ahdzu bil jadiidil aslah”.
Berbeda dengan Gontor, sistem pendidikan dan pengajaran di luar Gontor selalu mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan selera decision maker atau pemimpinnya. Sebagai contohnya, ketika menteri pendidikan atau dirjen pendidikan berganti baru, maka sistem pendidikannya ikut berubah pula. Padahal sistem lama belum sempurna penerapannya dan aplikasinya bahkan hasilnya pun belum ada.
Di pesantren selain Gontor perubahan-perubahan sistem diatas juga kerap terjadi ketika kyai atau pimpinannya meninggal dunia dan digantikan orang lain.
Selain itu, ada lagi perbedaan lain yang signifikan. Sistem-sistem Gontor tersebut lahir dari pengalaman dan penciptaan dinamika kehidupan secara totalitas; bukan dari teori ahli pendidikan. Sebaliknya, sistem-sistem di luar Gontor bersumber (referensinya) dari teori-teori yang diciptakan ahli-ahli pendidikan yang belum tentu sesuai dengan kemampuan dan kondisi lembaga pendidikan tersebut.
Kalau diamati dan dianalisa secara mendalam, dengan adanya sistem-sistem pendidikan yang variatif dan berbeda dalam institusi-institusi pendidikan dapat disimpulkan bahwa sebenarnya telah terjadi perang sistem pendidikan “antara pendidikan umum atau nasional dengan pendidikan pesantren”. Hanya peperangan tersebut tidak terlihat secara fisik.
Pemenang “perang sistem pendidikan” tersebut dapat diklaim oleh Gontor, karena konsistensinya, pendidikan Gontor dari waktu ke waktu dianggap baik serta diterima oleh masyarakat. Buktinya kepercayaan masyarakat terhadap Gontor semakin besar dengan indikasi santrinya bertambah terus, sehingga Gontor mengembangkan kemampuannya sampai 20 cabang.
Sistem-sistem itu dapat dikatakan baik atau buruk, kuat atau lemah, apabila melalui proses-proses berikut ini:
1. Sistem diuji kelayakannya dengan cara dibandingkan dengan sistem lain
2. Memiliki ketahanan atau tidak
3. Memiliki hasil
4. Alumninya mampu bersaing di masyarakat
Sistem pendidikan Gontor telah teruji selama kurang lebih 89 tahun dan tetap konsisten tanpa ada intervensi pihak lain dan tanpa berkiblat kepada sistem pendidikan nasional atau luar negeri. Bahkan Departemen Pendidikan Nasional dan Agama telah memberi persamaan setingkat menengah dan aliyah tanpa mengikuti UAN dan kurikulum mereka.
Selain bertahan, sistem pendidikan di Gontor yang dibangun di atas jiwa dan filsafat, mampu menghasilkan SDM yang idealis, bahkan alumninya mampu bersaing di masyarakat. Seperti menduduki jabatan, ketua organisasi besar Indonesia (NU dan Muhammadiyah), ada pula yang menjabat sebagai menteri agama, ketua MPR, rektor dan sebagainya.
Selain bertahan, sistem pendidikan di Gontor yang dibangun di atas jiwa dan filsafat, mampu menghasilkan SDM yang idealis, bahkan alumninya mampu bersaing di masyarakat. Seperti menduduki jabatan, ketua organisasi besar Indonesia (NU dan Muhammadiyah), ada pula yang menjabat sebagai menteri agama, ketua MPR, rektor dan sebagainya.